Kloset dan Puisi


Ada sebuah momentum yang menyebabkan saya menjadi semakin tertarik dengan puisi. Tahun 2004, saya, kakak, dan adik, dolan ke Gramedia. Saya masih ingat, adik saya beli buku “Sheila” Torey Hayden, saya beli “Imipramine” Nova Riyanti Yusuf, kakak saya beli “Biola Tak Berdawai”, novel yang ditulis Seno Gumira Ajidarma -berdasarkan skenario dan film karya Sekar Ayu Asmara, dan sebuah buku kumpulan puisi “Renungan Kloset” karya Rieke Diah Pitaloka. Kelak, bertukarbaca-lah kami bertiga.

Terus terang semua buku itu menarik dan meluaskan cakrawala berpikir kami. Tapi sekarang, saya sedang ingin mengupas buku Rieke. Perempuan kelahiran Garut 9 Januari 1974 ini memang tak awam soal sastra. Rieke lulusan Sastra Belanda Universitas Indonesia dan melanjutkan studinya di Program Pasca Sarjana Ilmu Filsafat di universitas yang sama.

Rieke menulis puisi dengan gaya feminis, nakal, dan kritis. Dia mengangkat tema sosial, politik, gender, dan tentu saja cinta.

Hmm.. Cinta barangkali memang tak pernah lepas dari puisi, atau sebaliknya..? Entah.. pastinya puisi cinta bikinan Rieke tak melulu bertutur tentang cinta dalam sudut pandang sempit -lelaki dan perempuan, tapi lebih dari itu, ia menulis cinta yang luas, universal.

Rasanya aneh kalau saya ngomongin buku Rieke tanpa memuat isinya di sini. Nanti saya dikira sok tahu soal sastra. Ingat, saya penikmat, bukan pakar. Jadi nanti saya sertakan pula komentar pakar supaya anda percaya bahwa puisi Rieke tak hanya dikomentari oleh saya. Hehe.. Sekarang kita simak dulu puisi-puisinya..

Tegar

Apakah tegar itu,

nyiur yang bergeming dalam badai,

tak beranjak terhempas ombak?

Atau tetesan air yang tak henti,

jatuh tetes demi tetes sepanjang waktu melubangi bebatuan?

Atau nyanyian para pekerja di antara deru mesin yang selalu terjaga?

-Depok, 20051998-

Setangkai cinta

Tak perlu bingung

begini saja, berapapun jarak memisahkan kita,

kan kukirim untukmu setangkai cinta

setiap hari

Setuju?

-Sukabumi, 12062001-

Note

Ini penting:

kalau nanti malam kau bertemu tuhan

Tolong tanyakan padanya

apakah adam diciptakan untuk memperkosa hawa?

Ini penting!

-Tebet, 24062001-

Maaf

Maaf

tak bisa kutulis banyak

tinta habis

tadi malam kugoresi langit dengan namamu…

-Jakarta, 12082001-

Renungan Kloset

Ada baiknya,

tak mencatat hidup dalam lembarlembar buku harian

Suatu masa,

jika membacanya lagi,

manis, membuat kita ingin kembali

pahit, membuat duka tak bisa lupa

Ada baiknya,

merenung hidup dalam kloset yang sepi

Tak perlu malu mengenang,

tersenyum atau menangis

Setelah itu, siram semua

bersiap menerima makanan baru

yang lebih baik dari kemarin

-Yogya, 01102001-

Selamat Pagi Tuhan

Kubuka jendela kamar,

Tuhan menyapa

“apa yang kau inginkan hari ini?”

“Tuhan” kataku, “merdekakan jiwajiwa tertindas”

Tuhan tersenyum di semerbak mawar

Nuriku berkicau lirih mencium harumnya

kubuka sarangnya

ulurkan tangan

menyentuhnya

Ia menatap tak percaya

aku mengangguk

Ia terbang menuju langit biru

Selamat pagi Tuhan

Terimakasih

-Jakarta, 011102001-

Mencarimu

Semenjak kutahu ada kata Tuhan,

kucari Kau berpuluhtahun perjalanan hidup

Kusebut asmaMu

Kulafadzkan desahMu

namun lidahku kelu, hatiku kaku

Kutuntaskan kitabmu

namun tak kutangkap jua maknaMu

Kukunjungi beribu tempat suci

namun, keagunganMu tak kurasa

Tuhan, aku lelah

cukup sudah pencarianku

aku menyerah

Saat aku memutuskan meninggalkanMu,

seorang bocah pengemis di kereta Bogor Gambir

menyapaku dalam harap

kuberikan seratusrupiah kumal dari saku

“Alhamdulillah!” katanya tulus

Terlonjak kalbuku, bibirku berucap,

“Alhamdulillah, segala puji bagi Allah…”

-Jakarta, 01112001-

Pelangi

“Apa jadinya, ayah,

bila warna pelangi meleleh?”

“Seperti hatiku yang menangis nak, jika engkau terluka..”

-Menteng, 11022002-

Edan..!!

Ya, itu saja komentar saya. Cukup. Karena tentunya anda lebih tertarik untuk mengetahui komentar pakar, berikut saya muat komentar Seno Gumira Ajidarma, cerpenis dan esais favorit saya.

Puisi dan Kematian Budaya [Pengantar Renungan Kloset]

Setiap kali ada orang Indonesia menulis puisi, kita harus bersyukur, karena kalau toh ia tidak berhasil menyelamatkan jiwa orang lain, setidaknya ia telah menyelamatkan jiwanya sendiri. Puisi memang tidak bisa menunda kematian manusia yang sampai kepada akhir hidupnya, tapi puisi jelas menunda kematian jiwa dalam diri manusia yang masih hidup.

Kalau Anda setiap hari berangkat ke tempat kerja pukul 6.00 pagi dan pulang pukul 17.00 dan di rumah menunggu kantuk di depan TV, dan Anda menjalaninya begitu rupa sehingga kehilangan rasa bosan maupun rasa gembira selama 20 tahun, Anda telah mengalami kematian budaya.

Kalau Anda merasa bahwa selingan yang menggembirakan dalam hidup hanyalah menonton di bioskop Kelompok 21, jalan-jalan di mall, nongkrong di kafe, pergi ke Puncak atau Anyer, dan tempat-tempat “resmi” rekreasi lain, selama hidup Anda yang cuma satu kali ini, Anda telah mengalami kematian budaya.

Kalau Anda merasa bahwa kehidupan yang beradab itu hanyalah makan di restoran terpilih, mendengarkan musik klasik, nonton “seni beneran” dalam Art Summit, membaca buku-buku berat, mengambil kuliah S-3, dan berdiskusi tentang politik dan agama, tapi memandang sebelah mata kesenian pengamen jalanan yang bernyanyi untuk perut dan hidupnya, Anda telah mengalami kematian budaya.

Kalau Anda merasa harus menggauli puisi demi mutu hidup Anda, dan Anda merasa bahwa puisi hanya ditemukan ketika menulis atau membaca sajak-sajak, itu pun yang “bernilai sastra” [betapa kasihan kalimat ini sekarang], apa boleh buat, Anda juga telah mengalami kematian budaya.

Seperti kebahagiaan yang bisa datang ketika tidak diharapkan, demikianlah puisi bertebaran di mana-mana bagi mata hati yang memang terbuka untuk menangkapnya: seperti buku puisi ini telah membuktikannya kepada saya, ketika kloset -seperti sering kita lupakan, meski mengalaminya-dijelmakannya sebagai ruang kehidupan budaya.

Adapun kehidupan budaya maksudnya: perbincangan antara hati dan kepala ketika merenungkan dunia -dalam perbincangan itu berlangsung tarik menarik, antara menyerah, melawan, atau menawar kepada proses kematian budaya.

Selamat membaca. Artinya: selamat menafsir, dan menciptakannya kembali dalam diri Anda. Dengan begitulah puisi akan menyelamatkan jiwa dari kematian budaya.

-Seno Gumira Ajidarma-

Pondok Aren, Senin 5 Mei 2003

Saya yakin banget, setiap orang pernah menulis puisi cinta -setidaknya sekali dalam hidupnya– entah dengan rasa percaya diri, biasa saja, atau malu-malu. Jika anda cenderung yang malu-malu, syukurlah, berarti saya tidak sendiri. Hahaha..

satu lagi dari Novel Biola Tak Berdawai:

“..semoga cinta akan selalu berada di hati: ladang harapan yang tak terbatas, di mana keajaiban terkadang bersemai..”

 

3 responses

  1. Puisi lo bagus. Baca postingan ini jadi pengen cari bukunya Rieke.

    *meluncur ke toko buku*

    Ifan: makasih jeng.. silahkan meluncur ke toko buku. oh ya, bikin cantik toiletmu.. siapa tau kelak kau jadi pujangga.. haha..

    Like

    Tuesday, July 29 , 2008 at 9:36 am

  2. Waduh ternyata saya buta sekali ya dengan sastra Indoenesia. Tulisannya bagus banget membuat saya ingin belajar lebih banyak. Terlambat ngak ya?

    Like

    Wednesday, July 30 , 2008 at 2:03 am

  3. Pingback: Kata Seno Gumira: “Puisi dan Kematian Budaya” « Bimo Indro's Blog

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s