Debu Vulkanik dan Gangguan Terbang Serius
Barusan tadi saya liat National Geographic tentang pesawat dari maskapai British Airways yang mengalami krisis terbang di atas pulau Jawa, tepatnya di sebelah tenggara Jakarta. Peristiwa ini terjadi 24 Juni 1982, sebulan setelah gunung Galunggung meletus pada 5 Mei 1982. Galunggung [saya ukur dengan Google Earth] berjarak 11.72 miles atau sekitar 18 km arah barat daya dari tengah kota Tasikmalaya. Letusan Galunggung yang bermula 5 Mei 1982 itu berlangsung 9 bulan hingga 8 Januari 1983.
Krisis terbang yang dialami British Airways dengan rute London-Auckland ini terjadi puncaknya saat empat mesinnya mati karena debu vulkanik yang masuk ke mesin pesawat. Awalnya pilot merasa terganggu dengan pandangan depan yang buram, lalu asap beraroma sulfur masuk kabin penumpang. Asap ini semula dianggap asap rokok. Salah satu penumpang berujar, “Turkish Cigarretes”. Namun penumpang yang melihat ke arah luar mendapati bahwa mesin tampak tidak seperti biasanya. Mesin mengeluarkan cahaya terang yang melewati kipas depan hingga ke bagian belakang.
Beberapa saat kemudian mesin nomor empat bergetar, lalu mati. Semenit kemudian mesin nomor dua mati, beberapa detik kemudian disusul mesin nomor satu dan tiga. Boeing747 memiliki glide-ratio 15:1, artinya tanpa mesin menyala, tiap 15 km laju ke depan, pesawat akan turun vertikal 1 km. Kru terbang mendapati hitungan bahwa mereka masih dapat terbang 23 menit lagi sejauh 169 km dari ketinggian saat itu 11.000 m.
Pukul 20:44 WIB British Airways mengumumkan keadaan darurat kepada Air Traffic Control lokal, yaitu Jakarta, menyatakan bahwa keempat mesinnya mati. Apesnya, Air Traffic Control Jakarta menerima informasi yang salah, dan mengintrepretasikan bahwa mesin keempat mati.
Pada ketinggian 4.100 m, mereka mempertimbangkan untuk mendarat di atas laut selatan Jawa. Meskipun itu adalah standar operasi, namun pendaratan di laut belum pernah dilakukan oleh Boeing 747 sebelumnya.
Kru terbang mencoba menyalakan mesin lagi. Mesin nomor empat menyala kembali, Pilot mencoba menaikkan pesawat untuk mengurangi kerendahan level terbang. Mesin nomor dua menyusul menyala, pesawat perlahan dapat menaikkan level terbang. Tidak lama mesin nomor satu dan tiga menyala. Kru menaikkan pesawat ke ketinggian 3.500 m untuk menghindari tabrakan dengan gunung.
Ketika pesawat mulai berada pada jalur untuk mendekati Jakarta, pandangan kaca depan kembali terganggu. Mesin nomor dua kembali mati. Ketinggian pesawat dipertahankan di level 3.700 m.
Setelah pesawat berada di area terbang mendekati landasan Halim, pandangan kaca depan masih terganggu. Kru menggunakan ILS [Instrumen Landing System] namun tidak optimal. Akhirnya mereka menggunakan DME [Distance Measuring System], peralatan navigasi berbasis gelombang radio untuk mengukur jarak pendaratan. Pilot harus mengukur pada jarak dan ketinggian berapa yang tepat untuk mendarat –pada tiap tingkatan DME yang menggambarkan garis layang virtual. Meskipun garis pendaratan dapat dibuat melalui kaca depan pesawat, namun lampu pendaratan pada pesawat tidak dapat menyala.
Akhirnya British Airways Flight 9 dapat mendarat di Bandara Halim dengan selamat.
Beberapa hari setelah insiden British Airways, airspace [kawasan udara] di sekitar Galunggung dibuka kembali, dan Singapore Airlines mengalami hal yang sama, 3 mesinnya mati. Akhirnya otoritas penerbangan Indonesia menutup jalur terbang kawasan tersebut secara permanen.
Debu vulkanik adalah material kering yang tidak terdeteksi oleh weather radar [radar cuaca] yang didesain untuk dapat mendeteksi kelembaban di udara. Semburan pasir-debu ini menerpa wind screen [kaca depan] pesawat, menyumbat mesin, dan menutupi lampu pendaratan.
Bicara soal Air traffic Control dan weather radar, saya dapat info dari teman yang membaca situs Seputar Indonesia, bahwa saat ini di Aerodrome Soekarno-Hatta sudah tidak tersedia weather radar dalam perangkat Air traffic Control (ATC) atau pengatur lalu lintas udara. Artinya para pengawas di ATC tidak memiliki kemampuan menginformasikan kondisi cuaca yang akurat secara real time di kawasan take off dan landing Aerodrome Soekarno- Hatta. Jika alat untuk menginformasikan kelembaban udara saja tidak berjalan dengan baik, jangan harap debu vulkanik dapat teridentifikasi oleh Air Traffic Control.
Saya memang sempat kecewa saat tanggal 2 November lalu maskapai Merpati membatalkan penerbangan rute Makassar-Jogja yang sudah dipesan dan dibayar untuk tanggal 4 November. Akhirnya saya menggunakan maskapai Sriwijaya, menukar rute terbang menjadi Makassar-Surabaya, dan melanjutkan perjalanan ke Jogja dengan bus malam.
Saya tiba di Jogja hari Jumat 5 November, jam 00.30 WIB. Tepat ketika saya keluar dari pintu bus, kepala saya dihujani pasir. Sejak tahun 1989 tinggal di Jogja, beberapa kali Merapi meletus, belum pernah Merapi membuat kota Jogja hujan pasir seperti itu.
Akhirnya, setelah melihat tayangan di National Geographic tadi, barulah saya benar-benar tahu risiko penerbangan jika terganggu abu vulkanik.
*sumber:
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/364286/
Leave a Reply