Gambir, Senja, dan Peristiwa..
Bapak-ibunya kerja jadi pemulung di bilangan Manggarai. Dari Senin hingga Jumat lelaki yang menyemir sepatu saya ini cari uang di Stasiun Gambir. Dulu ia mengemis seperti teman-temannya yang menatapnya dengan heran karena duduk di depan saya, di warung tempat saya makan sore itu.
Lalu lelaki kecil di depan saya ini bercerita bahwa ia lebih beruntung dibandingkan Hasan, temannya. Hasan dipukuli orang tuanya kalau pulang tidak bawa uang.
Di stasiun Gambir, dulu ia sering dikejar oleh petugas keamanan. Namun sejak ia tak lagi mengemis dan beralih menjadi penyemir sepatu, ia justru bisa dengan bebas berputar-putar di stasiun. Pemilik warung makan di stasiun pernah menegur dan memarahi petugas keamanan yang mengusirnya untuk pergi dari area stasiun. Menurut pemilik warung, banyak pembeli di warungnya yang menanyakan penyemir sepatu. Karena lelaki kecil ini tidak mengganggu pembeli yang jajan di warung makan seperti anak-anak lain yang mengemis, pemilik warung menyukai keberadaannya.
Ia kini duduk di bangku SDN Gondangdia, kelas 5. Uang hasil nyemir sepatu ia serahkan ke orang tuanya. Untuk beli beras, belikan jajan untuk adiknya yang masih 5 tahun, untuk beli sepatu, beli seragam, dan lainnya. Waktu saya tanya berapa biaya sekolahnya, ia jawab, “gratis om.. sekolah nggak bayar. Buku-buku juga dipinjemin sekolah..”
“Kenapa nyemir sepatu? Temen-temen lo pada ngemis, kenapa lo milih nyemir sepatu?”
“Kalau nyemir uangnya halal, Om..”
Dada saya sesak mendengar kalimatnya.. Halal.. (more…)
Seto dan gudang haram MUI
Selasa malam 12 Agustus 2008 saya menonton TV dan mendapatkan berita tentang Seto dari Komnas Perlindungan Anak yang mendesak MUI untuk mengeluarkan fatwa haram untuk rokok. Seto dalam tayangan berita itu mengatakan bahwa rokok mempunyai pengaruh negatif bagi perkembangan dan pertumbuhan anak-anak. Iklan-iklan rokok, katanya, mempengaruhi sisi emosi masyarakat untuk merokok.
Seto berpendapat bahwa fatwa MUI lebih efektif dibandingkan undang-undang dan peraturan pemerintah. Karena fatwa bisa lebih menyentuh secara emosi, sekaligus menangkal pengaruh iklan rokok yang sifatnya juga mempengaruhi secara emosi.
Ada beberapa hal yang kiranya patut kita sayangkan dari langkah Seto ini. Saya akan kupas satu-persatu.
Orang Tua yang merokok dan anak-anaknya
Saya, ayah saya, om, kakak ipar, ayah kakak ipar saya, teman-teman saya yang sudah punya anak, mereka merokok. Tapi kami mengerti bahaya rokok bagi anak-anak, istri, dan keponakannya. Untuk itu kami berusaha menjauh bila ingin merokok dan ada anak-anak sekitar kami. Kami mengerti itu. Dulu Ayah saya berulang kali berpesan ketika beliau tahu bahwa saya merokok, “jangan merokok di bis kota, di ruangan AC, di dekat ibu hamil dan di dekat anak-anak. Kalau bisa menjauh. Kalau tidak bisa, tunda merokoknya.”
Orang-orang Muda Tentang Ahmadiyah
Sejak dulu Ahmadiyah hidup tenang dan tidak terusik kehidupan beragamanya. Lalu kenapa sekarang mereka terusik? Apakah Ahmadiyah berbeda antara dulu dan sekarang? Saya kira tidak. Kalau sama, lantas apa yang membuat mereka menjadi begitu terancam eksistensinya oleh orang-orang muda Islam yang teramat bersemangat? Kita patut bertanya, Ahmadiyah yang berubah atau sikap hidup dan level kemanusiaan orang-orang muda Islam yang mengalami degradasi? Tidak mengertikah mereka tentang nilai-nilai humanisme universal?
Saya pikir orang-orang muda yang merusak tempat ibadah, membakar rumah-rumah pengikut Ahmadiyah, dan main pukul itu sama sekali tidak mencerminkan Islam mainstream! Mereka itu hanya berbeda tipis dengan teroris. Mereka menebar teror pada saudara-saudaraku Ahmadiyah. Bedanya, mereka tidak pakai bahan eksplosif sejenis mercon besar, C4 atau TNT.
Opini Terakhir